Kau
pernah merasakan ini? Kehilangan seseorang yang amat sangat kau cintai dan kau
butuhkan. Tidak ada satupun cara untukmu bisa bertemu dengannya kembali. Seperti
kau ditinggal seorang diri di tengah persimpangan yang gelap dan sepi. Dia
pergi meninggalkanmu diantara kegelapan itu, dan kau hanya bisa menangis
sembari menatap punggungnya yang perlahan-lahan hilang dari pandangan. Lantas
kau dengar Rosa melantunkan Hijrah Cintanya, ‘dan bila nanti bertemu Dia
kumohonkan, kembalikanlah kami, satukanlah lagi di surgaMu...’
Kau akan merasa, betapa
jauh itu dari yang namanya nyata. Namun yang paling menyedihkan adalah ketika
kau sadar bahwa memang hanya itulah satu-satunya harap. Dan entah dengan apa
kau harus meraihnya, untuk kembali bertemu dengannya. Biar kuperjelas. Rasanya,
seperti kau menghujamkan pisau tumpul berkarat ke dalam jantungmu, lalu kau
korek-korek pisau itu hingga jantungmu terkoyak. Setelah itu kau lihat tangan
jail yang sengaja meneteskan luka menganga di jantungmu itu dengan air cuka.
Nikmat sekali Tuhan, ujian sabar memang sering lebih luar biasa dari yang
sekedar kau kira.
Jika suatu saat kau
merasakan itu, kuyakin kau akan melakukan hal yang sama sepertiku. Berbuat apa
saja untuk mempertahankan kewarasanmu, meski dengan hal yang tidak waras
sekalipun. Berbicara dengan kucingmu misalnya, atau memilih tempat menyendiri
yang sunyi dan jauh dari keramaian. Hei, menyembuhkan hati tidak cukup dengan
kata-kata manis. Yang sabar ya? Atau, kau pasti bisa menghadapi ini. Atau, kau
diberi cobaan seberat ini karena kau kuat, dan bla bla bla yang lainnya. Maaf,
untuk hati yang tengah terluka dan bergolak menanyakan dimana keadilan Tuhan,
itu hanya terdengar seperti---sampah.
Kau pernah merasakannya?
Seolah seluruh hidupmu hanya ada duka, tanpa ada sekeping bahagia yang singgah
didalamnya. Lantas kau menyalahkan Tuhan. Bertanya dosa apa yang kau perbuat
hingga hidupmu sepahit ini. Jika kau pernah merasa seperti itu, aku juga pernah.
Kadang hidup terasa sangat menyesakkan. Ingin berlari, berteriak melepaskan
belenggu yang menjerat. Menyusuri tebing-tebing kehidupan yang curam untuk
mencapai satu hal, kebahagiaan.
Seseorang bertanya
kepadaku, bukankah kau bahagia? Sebentar lagi kau akan menikah, katanya. Aku
hanya tertawa. Jika kau tanya calon pengantin mana yang paling nelangsa,
mungkin aku akan menjawab, kamilah---aku dan Kakak, jawabannya. Tidak perlu
kujelaskan disini bagaimana pahitnya jalan kami, pasangan itik ini, hingga
akhirnya mampu mendaftarkan diri ke KUA. Cukup kita saja yang merasakan, biar
orang-orang hanya melihat ‘bahagia’nya kita. Ucap si Kakak malam itu, sempurna
membuatku menangis darah---haha, tidak. Hanya sempurna membuatku mensyukuri
seluruh hidupku---terutama untuk lelaki luar biasa yang didatangkan dalam takdirku
ini, termasuk semua kepahitan yang ada didalamnya.
Mungkin benar, memaafkan
diri sendiri adalah hal terpenting yang harus kita lakukan sebelum mencoba memaafkan orang lain. Setelah kau
mampu memaafkan dirimu, maka bahagia itu tidak perlu kau cari jauh-jauh. Dia
akan bersemayam di hatimu, meski kau sedang berjalan diantara onak dan duri.
Kau akan merasakan tubuhmu seringan kapas, lantas kau mampu melihat keindahan
dalam hidupmu yang selalu kau rutuki, untuk kemudian kau ambil hikmah dari
setiap takdir pahit yang menghampiri. Pernah merasakan itu? Pertahankan.
Ya, tentu aku bahagia.
Jawabku. Bayangkan saja, kau akan hidup bersama dengan orang yang kau cintai---
yang kau tunggu-tunggu sekian lama. Itu jelas sebuah kebahagiaan yang tak
terkira, tidak usah dijelaskan lagi. Tapi badai tidak akan berhenti hanya
dengan kau menikah, bukan? Jauh di depan sana---atau bahkan mungkin dekat, aku
tahu takdir tengah menyiapkan kejutan-kejutannya. Duka suka tetap akan datang
silih berganti selama kau masih bernafas. Mungkin jalan di depan tidaklah
mudah, tapi aku yakin kita dapat melaluinya dengan indah, ucap si Kakak lagi.
Benarlah, karena setitik kebahagiaan itu sudah bersemayam di hati, dan kau
hanya butuh segayung bahagia untuk seember dukamu. Percayalah, semakin sering
kau mencecap duka, maka hatimu akan semakin peka mencicip bahagia meski hanya seujung
sendok saja.
Duka yang datang dalam
hidup bukanlah tanda ketidakadilan Tuhan. Dia hanya ingin kau menggunakan
sedikit mata batinmu untuk melihat bahwa sejatinya bahagia itu ada dimana saja,
bahkan di tengah duka sepahit apapun. Duka itu yang akan mengajarimu bagaimana
cara menemukan dan menikmati kebahagiaan. Setelah itu kau akan tahu, seember
dukamu akan larut hanya dengan segayung bahagia, dan ajaibnya kau juga akan merasa
yakin bahwa lirik Hijrah Cinta itu akan menjadi nyata, kelak---jika kau pernah
merasa kehilangan, dan rindu.
Siap menyambut kebahagiaan luar biasa
itu, tiga puluh hari lagi, Kakak? InsyaAllah ...
Pun, jika hanya ada gelap, sesak, dan
bahagia terasa begitu jauh dalam ruang hidup kita nanti, aku masih bisa berdoa ‘kan?
Seperti kata Anggun dalam ‘Snow On The Sahara’nya---lagu inspiring yang baru
masuk list favoritku, begini liriknya :
If
your hope scatter like the dust across your track,
I’ll
be the moon that shines on your path
And
if we burn away, I’ll pray the skies above
For
snow to fall on the sahara ...
Tuhan bisa dengan mudah menurunkan
salju di tengah padang sahara sekalipun, bukan? Maka kuucapkan, selamat
berbahagia...
0 comments