Segayung Bahagia Untuk Seember Duka

  • Desember 06, 2017
  • By Ayu Fitri Septina
  • 0 Comments


            Kau pernah merasakan ini? Kehilangan seseorang yang amat sangat kau cintai dan kau butuhkan. Tidak ada satupun cara untukmu bisa bertemu dengannya kembali. Seperti kau ditinggal seorang diri di tengah persimpangan yang gelap dan sepi. Dia pergi meninggalkanmu diantara kegelapan itu, dan kau hanya bisa menangis sembari menatap punggungnya yang perlahan-lahan hilang dari pandangan. Lantas kau dengar Rosa melantunkan Hijrah Cintanya, ‘dan bila nanti bertemu Dia kumohonkan, kembalikanlah kami, satukanlah lagi di surgaMu...’

Kau akan merasa, betapa jauh itu dari yang namanya nyata. Namun yang paling menyedihkan adalah ketika kau sadar bahwa memang hanya itulah satu-satunya harap. Dan entah dengan apa kau harus meraihnya, untuk kembali bertemu dengannya. Biar kuperjelas. Rasanya, seperti kau menghujamkan pisau tumpul berkarat ke dalam jantungmu, lalu kau korek-korek pisau itu hingga jantungmu terkoyak. Setelah itu kau lihat tangan jail yang sengaja meneteskan luka menganga di jantungmu itu dengan air cuka. Nikmat sekali Tuhan, ujian sabar memang sering lebih luar biasa dari yang sekedar kau kira.

Jika suatu saat kau merasakan itu, kuyakin kau akan melakukan hal yang sama sepertiku. Berbuat apa saja untuk mempertahankan kewarasanmu, meski dengan hal yang tidak waras sekalipun. Berbicara dengan kucingmu misalnya, atau memilih tempat menyendiri yang sunyi dan jauh dari keramaian. Hei, menyembuhkan hati tidak cukup dengan kata-kata manis. Yang sabar ya? Atau, kau pasti bisa menghadapi ini. Atau, kau diberi cobaan seberat ini karena kau kuat, dan bla bla bla yang lainnya. Maaf, untuk hati yang tengah terluka dan bergolak menanyakan dimana keadilan Tuhan, itu hanya terdengar seperti---sampah.

Kau pernah merasakannya? Seolah seluruh hidupmu hanya ada duka, tanpa ada sekeping bahagia yang singgah didalamnya. Lantas kau menyalahkan Tuhan. Bertanya dosa apa yang kau perbuat hingga hidupmu sepahit ini. Jika kau pernah merasa seperti itu, aku juga pernah. Kadang hidup terasa sangat menyesakkan. Ingin berlari, berteriak melepaskan belenggu yang menjerat. Menyusuri tebing-tebing kehidupan yang curam untuk mencapai satu hal, kebahagiaan.

Seseorang bertanya kepadaku, bukankah kau bahagia? Sebentar lagi kau akan menikah, katanya. Aku hanya tertawa. Jika kau tanya calon pengantin mana yang paling nelangsa, mungkin aku akan menjawab, kamilah---aku dan Kakak, jawabannya. Tidak perlu kujelaskan disini bagaimana pahitnya jalan kami, pasangan itik ini, hingga akhirnya mampu mendaftarkan diri ke KUA. Cukup kita saja yang merasakan, biar orang-orang hanya melihat ‘bahagia’nya kita. Ucap si Kakak malam itu, sempurna membuatku menangis darah---haha, tidak. Hanya sempurna membuatku mensyukuri seluruh hidupku---terutama untuk lelaki luar biasa yang didatangkan dalam takdirku ini, termasuk semua kepahitan yang ada didalamnya.

Mungkin benar, memaafkan diri sendiri adalah hal terpenting yang harus kita lakukan sebelum  mencoba memaafkan orang lain. Setelah kau mampu memaafkan dirimu, maka bahagia itu tidak perlu kau cari jauh-jauh. Dia akan bersemayam di hatimu, meski kau sedang berjalan diantara onak dan duri. Kau akan merasakan tubuhmu seringan kapas, lantas kau mampu melihat keindahan dalam hidupmu yang selalu kau rutuki, untuk kemudian kau ambil hikmah dari setiap takdir pahit yang menghampiri. Pernah merasakan itu? Pertahankan.

Ya, tentu aku bahagia. Jawabku. Bayangkan saja, kau akan hidup bersama dengan orang yang kau cintai--- yang kau tunggu-tunggu sekian lama. Itu jelas sebuah kebahagiaan yang tak terkira, tidak usah dijelaskan lagi. Tapi badai tidak akan berhenti hanya dengan kau menikah, bukan? Jauh di depan sana---atau bahkan mungkin dekat, aku tahu takdir tengah menyiapkan kejutan-kejutannya. Duka suka tetap akan datang silih berganti selama kau masih bernafas. Mungkin jalan di depan tidaklah mudah, tapi aku yakin kita dapat melaluinya dengan indah, ucap si Kakak lagi. Benarlah, karena setitik kebahagiaan itu sudah bersemayam di hati, dan kau hanya butuh segayung bahagia untuk seember dukamu. Percayalah, semakin sering kau mencecap duka, maka hatimu akan semakin peka mencicip bahagia meski hanya seujung sendok saja.

Duka yang datang dalam hidup bukanlah tanda ketidakadilan Tuhan. Dia hanya ingin kau menggunakan sedikit mata batinmu untuk melihat bahwa sejatinya bahagia itu ada dimana saja, bahkan di tengah duka sepahit apapun. Duka itu yang akan mengajarimu bagaimana cara menemukan dan menikmati kebahagiaan. Setelah itu kau akan tahu, seember dukamu akan larut hanya dengan segayung bahagia, dan ajaibnya kau juga akan merasa yakin bahwa lirik Hijrah Cinta itu akan menjadi nyata, kelak---jika kau pernah merasa kehilangan, dan rindu.
Siap menyambut kebahagiaan luar biasa itu, tiga puluh hari lagi, Kakak? InsyaAllah ...
Pun, jika hanya ada gelap, sesak, dan bahagia terasa begitu jauh dalam ruang hidup kita nanti, aku masih bisa berdoa ‘kan? Seperti kata Anggun dalam ‘Snow On The Sahara’nya---lagu inspiring yang baru masuk list favoritku, begini liriknya :

If your hope scatter like the dust across your track,
I’ll be the moon that shines on your path
And if we burn away, I’ll pray the skies above
For snow to fall on the sahara ...


Tuhan bisa dengan mudah menurunkan salju di tengah padang sahara sekalipun, bukan? Maka kuucapkan, selamat berbahagia...

You Might Also Like

0 comments